Kumpulan Puisi Rhe

Cerita dari hati

KABUT CINTA DI KOTA MARMER September 5, 2008

Filed under: Cerpen — rheifania @ 7:24 am

“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing……” suara jam beker itu memecahkan telingaku.Sayup terdengar suara

 

adzan subuh.Mataku masih terasa lengket.Ku coba untuk tidur kembali, tapi terlambat, Ibu sudah

 

menggedor pintu kamarku.Akupun bergegas bangun dari tempat tidur dan mengambil air wudhu, lalu

 

shalat subuh.Seusai sholat subuh aku hendak tidur kembali, tapi keburu ibu memanggilku kembali.

 

“Ada apa sih ibu………masih ngantuk”. Jawabku sambil mendekati Ibu yang aku juga begitu perhatiin

 

lagi ngapain.

 

“Kamu itu…. udah bangun tidur lagi, arep dadi opo……bantuin Ibu sini….” Kata ibu.

 

“Ibu lagi ngapain sih?  pagi – pagi masak segini banyaknya, mang ono opo?” Tanyaku pada Ibu yang

 

sedari tadi aku lihat sibuk banget.

 

“Kamu lupa….atau sengaja….?”Ibu malah balik nanya, aku jadi makin bingung, Aku kelupaan apa ya?

 

“Hari ini Restu datang dari Jakarta bawa temennya, lupa ya???”. Jawab ibu sembari senyum–senyum.

 

            Restu adalah anak kedua pakdhe (sebutan seorang Om di kotaku, kota Tulungagung).Dia kuliah di

 

salah satu perguruan tinggi di Jakarta.Dia adalah satu-satunya anak Pakdhe yang kuliah.Bukan karena

 

Pakdhe orang yang berduit, tapi karena emang Restu itu cowok yang pinter dan berkemauan keras hingga

 

dia selalu dapat bea siswa.Dan saat ini dia udah mau nyusun skripsi, jadi di bawanya teman–temannya

 

Dari Jakarta untuk mengunjungi kotaku ini, Kota Tulungagung yang terkenal dengan Marmernya.

 

            Jam 6.00 tepat kereta api Matarmaja itu sampai di Stasiun Tulungagung.Aku selalu bertanya ke

 

Bang Restu (panggilan akrabku untuk Restu), kenapa dia nggak naik Kereta yang Eksekutif dikit,

 

ya……….minimal Bisnislah! Dan jawabannya selalu sama “Pengiritan”.Emangsih kereta yang dinaiki itu

 

lumayan murah (Cuma Rp. 50.000,-), tapi untuk ukuran mahasiswa seperti itu apa tidak malu???,”Justru

 

itulah hebatnya seorang Restu”. Aku jadi semakin tambah kagum dengan Abangku yang satu ini.

 

Seperti biasa kalo dateng dari Jakarta Restu tidak pernah langsung ke rumahnya melainkan

 

mampir ke rumahku dulu.Maklum…..sejak Budhe meninggal setahun yang lalu Restu jadi lebih deket

 

dengan Ibu.

 

“Pagi Ibu sayang………..ini lo anakmu yang bagus dhewe dateng….” Kata Restu sembari memeluk

 

Ibu.Setelah itu dia bersalaman dengan Pakdhe (Bapaknya).Dan seperti biasa Pakdhe selalu menitikkan air

 

mata, itulah yang paling tidak disukai Restu.Setelah bersalaman dengan Ibu, Pakdhe, dan ayah barulah dia

 

mencariku.Seperti biasa dia selalu menceritakan tentang indahnya kota Jakarta yang bagiku adalah tempat

 

yang tidak menyenangkan dan tidak pengen aku kunjungi.Aku lebih memilih di Kota ini, Kota dimana

 

aku dilahirin.Aku bangga dengan Kotaku.

 

“Bang……kok temennya tidak dikenalin” celetuk Kesha adikku.Restu  tersenyum lalu mengenalkan

 

ketiga temennya ke kami semua.Mereka ada 2 cowok & 1 cewek.Yang Cowok namanya Kadafi & Iman,

 

yang cewek namanya Intan, pacarnya Restu.Setelah berkangen – kangenan aku pamitan untuk pergi

 

mengajar disebuah Bimbel.Setelah lulus SMA sebulan yang lalu aku memilih untuk mengajar di Bimbel

 

milik Kakaknya Muna, temanku.Dan dimalam harinya aku bisa kuliah mengambil jurusan Bahasa.Karena

 

kesenanganku dengan menulis, aku berkeinginan untuk menjadi seorang Penulis.

 

            Sudah tiga hari ke dua temen Restu tinggal dirumah Pakdhe yang bersebelahan dengan rumahku.

 

Dan sudah tiga hari pula aku berbagi kamar dengan Intan, pacar Restu.Dia anaknya baik dan tidak

 

sombong.Dan yang jelas cantik banget, sesuai dengan cewek idaman Restu.

 

“Kay….knapa kamu nggak mau kuliah atau setidaknya main ke Jakarta??” Tanya Intan kepadaku saat

 

kita hendak siap – siap tidur.

 

“Enggaklah mbak………..habis Jakarta itu menakutkan.Lihat ja di TV – TV itu…banyak  demo, banyak

 

kerusuhan, udah gitu panas pula.Penuh dengan polusi”jawabku sambil menceritakan ketidaksukaanku

 

kepada ibukota Negara ini.Karena bagiku kotaku lebih indah dari pada kota Jakarta.

 

“Mba liatkan biarpun kota ini kota kecil dan mungkin tidak tertera dalam peta, tapi, kota ini indah…

 

terkenal dengan Marmernya pula.Sejuk….belum ada polusi seperti di Jakarta kan?? mo liburan juga

 

banyak tempatnya, ada Pantai Popoh, Prigi, Waduk Wonorejo, Gua Lowo, dan mo ke makam Bung

 

Karno juga deket” Aku mulai menceritakan kebanggaanku atas Kota ini.

 

“Kalo ada cowok Jakarta naksir kamu gimana??” pertanyaan Mba Intan itu membuatku tertawa geli.

 

“Mana ada cowok suka sama wong ndeso kaya Kay mba….” Jawabku. Mba Intan tampak bingung dan

 

tidak mengerti omonganku.

 

“Maksudku….mana ada yang suka sama gadis desa kaya aku ini.Udah gadis desa, ga cantik pula” Mba

 

Intan menganggukkan kepala setelah mengerti maksud dari omonganku.

 

“Ya enggaklah Kay……kamu cantik kok…pinter pula” jawab Mba Intan.

 

“Udahlah mba….Kay ngantuk…dibahas lain kali ja ya…..” jawabku

 

            Pagi ini rencananya Restu dan temen – temennya mau main ke Pantai Popoh.Pengen ikut sih…….

 

tapi males naik angkotnya.Soalnya Kesha ikut.Sebenernya motor ada 3, tapi yang satu lagi perpanjang

 

STNK, jadi ga bisa di bawa.

 

“Ayolah adikku manis………..”bujuk Restu padaku.Aku makin kesel aja tu ma Restu, udah tau aku suka

 

mabok klu naik angkot, eh…..masih dipaksa pula.

 

“Ya udah gini ja…..biar Kadafi naik motor ma Kayla, sementara kita naik angkot, gimana?soalnya keburu

 

siang….waktu kita ga banyak, kita juga harus Riset mengenai Marmerkan……” usul Iman

 

“Bener juga….diantara kita yang punya SIM kan Cuma Dafi” sambung Restu.

 

Mati aku!!!ga salah aku disuruh pergi ma cowok itu???bisa Salting nich….aduh gimana nih…..

 

aku mulai memutar otak buat menolak ini  semua, tapi terlambat, Kadafi udah ngasih aku helm.Sepanjang

 

perjalanan kita Cuma saling diam, aku juga nggak berani pegangan. Jantungku rasanya berdegup kencang,

jangan – jangan aku jatuh cinta.

 

“Kok diem aja Kay…..sakit gigi ya???”Tanya Kadafi meledekku yang sedari tadi diem aja, aku hanya

 

tersenyum menanggapi pertanyaan itu.

 

“Tu kan….diem terus, ngomong – ngomong masih jauh ya…..”

 

“Enggak kok, depan itu belok kiri sampe.” Jawabku singkat.

 

            Setelah tiba di Pantai Popoh ternyata, Restu dan yang lain belum dateng.Terpaksa aku dan Kadafi

 

menunggu mereka dateng lebih dulu baru kita main – main di Pantai.Dan selang 1jam rombongan Restu

 

sampai.Kitapun jalan jalan dan bermain pasir di pantai.Nggak tau kenapa mataku selalu terpana melihat

 

Kadafi.Dan aku lihat dia pun curi – curi pandang padaku.Hati ini semakin berdegub kencang.

 

“Kay….gimana Kadafi??”Tanya Intan padaku.Aku jadi bingung, apa maksud Intan nanya seperti itu

 

padaku?Apa yang dimaksud cowok Jakarta malam itu Kadafi?Aku juga jadi bingung harus jawab apa?

 

“Iya lo Mbak….Kak Dafi pernah tanya Sha, apa Mbak Kay udah punya pacar?” nah lo….apa lagi ini si

 

Kesha, jangan – jangan dia crita yang enggak – enggak.

 

“Trus Sha bilang apa?”tanyaku penasaran

 

“Sha nggak bilang apa – apa kok, emang sha nggak tau kan…..” jawab Sha.

 

Pembicaraan kami terhenti karena Si Restu dateng, tak terasa hari sudah sore.Restu ngajakin kita

 

pulang.Karena sore ini dia ada janji dengan salah satu temannya pengrajin Marmer.

 

            Nggak terasa sudah sudah hampi 1 bulan Restu dan ketiga temen dari Jakartanya tinggal di Kota

 

ini.Dan hati ini semakin berdebar – debar bila harus bertatap muka dengan Kadafi.Sepertinya aku merasa

 

ada banyak kupu – kupu di taman hatiku, dan akupun dibuat tak berdaya akan rasa ini.

 

“Hahahaha…..ternyata si penyair udah jatuh cinta ya???” ledek Muna, temenku

 

Ojo ngguyu…..aku malu tau…..kamu kan tau, dia orang Jakarta, jadi apa aku mimpi ya….aku kan nggak

 

ayu kaya cewek – cewek Jakarta” akupun mulai mengutarakan apa yang aku rasakan kini.Muna

 

mendengarkan dan sesekali tertawa geli mendengar ceritaku.Emang sih selama ini, sampai umurku 19

 

tahun aku belum pernah merasakan yang namanya jatuh Cinta. Nggak seperti Muna yang suka gonta –

 

ganti pacar itu.

 

“Gimana dong Mun…..besok minggu mereka balik Ke Jakarta…”

 

“Ya ikut sono, sekali – kali gitu, biar ga ndeso” jawab Muna.

 

“Ogah! Mendingan di sini, mo ngapain ja bisa, emangnya di Jakarta indah apa? Udah apa – apa mahal,

 

kencing aja bayar.Toh belum tentu juga kan dia suka ma aku.Biarin ajalah kalo emang jodoh nggak

 

kemana.” Jawabku bijak.

 

            Sementara aku mencoba melawan perasaanku, aku baru tau kalo Kadafi juga mencoba untuk

 

mengusir rasa yang sama.Dan bukan hanya itu, alasannya hampir sama, dia lebih mengindahkan kota

 

Jakartanya dari pada Cinta yang mulai bersemi ini.Aku tak tahu harus bagaimana mengusir rasa ini,

 

karena semakin ku coba aku semakin tak bisa.Ego yang tak bisa aku cegah membuatku untuk menahan

 

segala rasa.Dan aku juga tau itu pula yang dirasakan oleh Kadafi.Jadi biarlah Cinta ini tertutup kabut    

 

hingga sampai akhirnya nanti kabut itu akan menjelaskan dengan sendiri mau dibawa kemana Cinta ini.

 

“Dafi….lu yakin ga akan bilang terus terang ke adiknya Restu itu?”Tanya Iman melihat kegundahan

 

Kadafi akan perasaannya.

 

“Gue ga tau Man….yang jelas gue gak yakin akan semua ini.Kalo pun kita satu rasa, apakah bisa cinta

 

terpaut jarak begitu jauh seperti ini?Aku suka Kota ini, tapi hidupku bukan disini tapi di Jakarta.

 

Sementara kamu tau sendiri Kay itu seperti apa?Susah untuk menyatukan Cinta karena ternyata Ego kita  

 

sama – sama begitu besar”Kadafi mulai mencurahkan isi hatinya.

 

“Ya…setidaknya kalo kalian tau isi hati masing – masing, bisakan dicari jalan keluar yang terbaik tanpa

 

harus saling memendam rasa yang ujung – ujungnya bikin sakit kedua belah pihak kan?coba pikirin lagi

 

deh!besok kita balik lo….dan ga tau lagi kapan kembali lagi kesini” Pendapat Iman mengenai kabut Cinta

 

antara aku dan Kadafi

 

 

            Hari ini mereka semua kembali ke Jakarta, aku mencoba menguatkan hati untuk  tidak menangisi

 

semua ini.Kenapa Cinta begitu rumit….Kenapa Cinta itu begitu pedih…aku kalah, Aku kalah dengan

 

keadaan yang seharusnya bisa aku rubah dengan mudah, Aku kalah dengan Kabut kelam yang seharusnya

 

bisa kubuat terang.

 

“Sudahlah Kay…..lebih baik kamu terus terang saja.Dari pada seperti ini….kamu juga kan yang sakit??”

 

Bujuk Muna agar aku mau menyambut rasa ini.Tapi apa alu bisa???apa aku mampu???Mungkinkah aku

 

menyerah sebelum kalah…..Tapi tidak!!!!aku tidaklah kalah karena memang tembok itu terlalu tinggi

 

untuk ku panjati, tebing itu terlalu curam untuk kudaki.Kalaupun cinta itu memihak kita, setidaknya ada

 

satu yang memberatkan Kadafi untuk meninggalkan semua ini sebelum kabut itu tersingkap.Karena

 

seperti yang aku lihat saat ini Kadafi-pun kalah dengan keadaan.

 

            Kereta itu pelan – pelan membawa mereka pergi sekaligus rasa yang tak pernah bisa aku

 

utarakan.Dan membawa kisah yang aku sendiri tak tau bagaimana awal dan akhirnya.

 

            Setelah Restu dan semua temannya kembali, rumah terasa sepi.Begitu juga hati ini.Aku pun

 

memulai hari – hariku seperti biasa.Dan tentu saja dengan mencoba mengubur dalam Rasa yang pernah

 

ada.Walupun aku sadar sulit untuk melakukannya, karena setiap aku masuk ke rumah Pakdhe yang

 

terbayang adalah senyum Kadafi.Aku tau aku tak boleh terus begini, oleh karena itu aku mencoba untuk

 

menyibukkan diri.Dengan membuat puisi, cerpen, memberi les, dan kuliah.Aku pikir semua itu bisa

 

membantuku untuk menyingkirkan bayang bayang Kadafi.Tapi ternyata tidak.

 

PINTU HATI

 

Rindu kepadamu menyiksaku…., Cinta kepadamu buatku gelisah slalu….

 

Tak Jumpa denganmu buatku sakit

 

Maka aku mengetuk pintu hati, dan aku kehilangan hati

 

Karena merindumu…….

 

Di pintu hati itu kau akan tau

 

Begitu jauhnya sakit rinduku, sakit yang tegar untuk ditanggung cinta

 

Di bawah tubuh ini api Cinta mulai menyala

 

Di pintu hati itu kan kau lihat pandangan rindu

 

Yang menyelinap di sayap – sayap hati

 

Sampai kau kan mengerti, betapa besar rasa yang kumiliki

 

“Begitu dalamkah sakit yang kau rasa Kay???Kalau Rasa yang kau punya sebesar itu kenapa nggak kamu

 

coba untuk mencarinya” Nasehat Muna kepadaku.

 

“Itu tidak mungkin….cinta yang aku punya bukan cinta egois, aku sudah cukup dengan rasa ini, aku

 

nggak mau Kadafi terbebani dengan rasaku ini” jawabku

 

“Cintamu emang bukan cinta yang egois, tapi kamu egois dengan cinta.Seandainya kamu membuka mata

 

bahwa diluar sana ada cinta yang menanti, cobalah berfikir…kenapa selama ini kamu susah membuka

 

hati, karena kota ini??aku rasa tidak!!kamu begini justru karena keegoisanmu sendiri.Andai kamu mau

 

mencoba….belum tentu Jakarta seperti yang kamu kirakan???? “ Muna mulai berceramah ini itu tentang

 

cinta.Tapi bagiku itu belum cukup menguatkan hatiku untuk menatap cinta itu sendiri.

 

            Ku coba melalui hari – hari dengan tidak memikirkan cinta dan kata – kata Muna.Bukannya aku

 

egois, tapi aku juga tau Kadafi itu seorang yang idealis.Aku tau karena Restu pernah bilang itu padaku

 

sebulan setelah dia sampai di Jakarta.Jadi mana mungkin aku bisa melakukan apa yang Muna katakana.

 

Restu pernah juga bilang kalau sebenarnya Kadafi juga merasakan hal yang sama denganku.Dan sama

 

sepertiku, dia benar – benar tidak tau berontak atau menerima rasa itu.Terlalu sulit baginya meninggalkan

 

Jakarta, tapi sulit juga baginya untuk mengabaikan rasa.Bukan karena Jakarta lebih indah, tapi karena

 

hidupnya memang tidak memungkinkan untuk pindah dari kota itu.Mamanya yang sakit parah, usaha

 

yang dirintis papanya, semua itu semakin memperburuk keadaan.Dan Aku…..tidak mungkin aku seegois

 

itu untuk datang dan mengungkapkan semua rasa ini, bahwa aku juga merasakan hal yang sama seperti

 

yang dia rasa.Karena tidak mungkin aku tega menambahkan kegalauan hatinya.Aku pikir keluarga dan

 

Jakarta lebih membutuhkan dia dari pada sekedar cinta yang aku punya ini.Dan aku cuma bisa berharap

 

seiring dengan berjalannya waktu aku bisa melupakan cinta ini.

 

Hari berganti begitu cepat.Sudah hampir satu tahun aku mencoba melupakan semua rasa yang

 

selama ini menggangguku.Meski aku tau aku tak mampu, tapi demi cinta aku selalu bertahan pada

 

tempatku.Karena aku percaya kalaupun takdirku adalah Kadafi, tanpa aku berusaha menyingkirkan kabut

 

yang ada, pasti kabut itu akan pergi dengan sendirinya.Seperti hari ini, aku tak pernah berharap bertemu

 

kembali dengan Kadafi, tapi rasa itu membawaku ketemu dengannya.Hari ini aku di kota Jakarta, kota

 

yang selama ini menghantuiku dengan cinta.Tapi aku ke sini bukan karena cinta itu, melainkan untuk

 

melihat Restu di wisuda

 

“Hai Kay….. apa kabar??”Sapa Iman kepadaku saat aku dan keluarga sampai di kampus tempat Restu

 

kuliah. Aku juga melihat Kadafi, tapi aku tak berani menatapnya.

 

“Baik, kalian sendiri gimana?” jawabku singkat.Mereka hanya memperlihatkan keadaannya dan

 

kebahagian yang terpancar dari wajah masing – masing, yang aku tau sih maksudnya mereka jauh lebih

 

baik. Aku hanya bisa tersenyum melihat semua itu.

 

“Kay…aku mau ngomong…” Kadafi menarik tanganku dan mengajak ke suatu tempat masih dalam

 

bagian kampus itu.Aku bertanya – tanya dalam hati, ada apa ya???

 

“Sudah setahun nggak ketemu kok kamu kelihatan beda ya…”Kadafi memulai pembicaraan kami.Aku

 

tersenyum malu.

 

“Maksud kakak mengajak Kay kesini ada apa???” tanyaku untuk menyembunyikan kegundahanku.Aku

 

tidak berani menatap Kadafi, Aku hanya mendengar dia menarik nafas panjang sebelum pada akhirnya

 

mengungkapkan rasa yang ada dalam hatinya.Aku tak pernah menyangka kalau sebenarnya dia jauh

 

tersiksa karena rasa ini dibandingkan dengan aku.

 

“Aku bener – bener nggak tau Kay…harus ngapain lagi untuk mempertahankan rasa yang kini ada.Aku

 

merasa hidupku hampa apabila melepas cinta ini, tapi aku juga tidak bisa menghancurkan harapan

 

keluargaku disini, aku sayang kamu….bahkan sayang banget, tapi apakah mungkin demi sayang dan cinta

 

aku mengabaikan kewajibanku sebagai seorang anak…..” Aku melihat Kadafi menitikan air mata.

 

“Aku tau kak….makanya aku nggak pernah mengatakan semua rasa yang aku miliki ke Kakak, karena

 

cinta yang aku miliki ini bukan cinta yang egois, yang maunya aku bahagia tanpa memikirkan orang lain,

 

aku tidak ingin seperti itu…..Aku ingin jika cinta itu bisa kurengkuh, bahagia yang aku rasa bisa dirasa

 

oleh semua orang, termasuk keluarga orang yang aku cinta, yaitu mama dan keluarga kakak” jawabku

 

sembari menahan air mata yang sudah tidak tahan untuk keluar dari mataku.

 

“Bahkan datang ke Jakarta ini adalah suatu beban, Aku nggak mau karena kedatanganku ini akan

 

menambah kegalauan hati Kak Dafi.Sempat aku berharap agar tidak bertemu dengan Kak Dafi.Aku takut,

 

aku takut jika ketemu dengan Kak Dafi akan merubah pendirian ini, dan akhirnya aku menjadi seorang

 

yang egois.Bagiku melihat Kak Dafi bahagia dan bisa membahagian orang disekitar Kakak itu jauh lebih

 

indah dari pada aku miliki cinta kakak, tapi harus dengan membayar mahal, yaitu melukai hati orang –

 

orang disekitar kakak” dan ternyata aku tak bisa membendung air mata.Perlahan tapi pasti butir – butir

 

bening itu mulai menetes.Namun dengan sigap aku menghapusnya kembali lalu mencoba tegar kembali.

 

“Aku baru tau Kay……ternyata bukan saja wajahmu yang cantik…tapi semua yang ada pada dirimu di

liputi kecantikan yang jarang orang punya.Aku sungguh beruntung kenal denganmu bahkan mencintaimu,

 

walaupun mungkin sulit untuk kita meraih cinta ini, tapi aku yakin jika memang cinta memihak kita pasti

 

suatu saat kabut yang menyelimuti cinta ini akan kalah oleh rasa yang kita punya” Kamipun saling

 

berpelukan.Aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa yang aku rasakan.Aku bahagia bisa ketemu Kadafi,

 

tapi haruskah aku menangis karena pertemuan ini?Aku juga tidak tahu.Ku hapus air mata dan mengajak

 

Kadafi kembali bergabung dengan semuanya.Proses wisuda itu sudah dimulai.Satu persati mahasiswa

 

dipanggil.Aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi untuk melihat Restu di wisuda.

 

            Setelah di wisuda Restu kembali pulang ke kota kami untuk sementara.Rencananya dia akan

 

bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta.Setelah mapan dia mau menikah dengan Intan, orang yang di

 

cintainya.Sementara aku????aku masih saja sibuk dengan penantian cinta yang aku tak tahu sampai kapan

 

cinta itu bisa ku rengkuh.Tapi yang jelas aku bahagia, karena setidaknya masih mempunyai rasa

 

cinta.Walaupun mungkin semua orang mengatakan aku bodoh telah mengambil keputusan untuk

 

mengabaikan cinta yang kurasakan.Tapi aku tidak peduli.Bagiku Cinta itu tidak harus memiliki dan

 

menuntut orang yang kita cintai untuk melakukan apa yang kita mau.Karena cinta yang seperti itu

 

bukanlah cinta, melainkan kesepakatan dan keegoisan semata.Semoga saja Kadafi bahagia dengan

 

keputusanku ini.Jadi biarlah cinta kami bersemi dalam hati.Kalau Tuhan menghendaki kita satu, aku

 

yakin Kadafi akan datang padaku.Bersama cintanya…..cinta kami yang sempat tertutup kabut.

  

By Rhe,

Dari kota kecil di Propinsi Jawa Timur, Tulungagung

 

 

Note :

Arti kata :

  • Arep adi opo  : mau jadi apa
  • Ono opo          : ada apa
  • Bagus dhewe  : paling cakep sendiri
  • Ojo ngguyu    : jangan ketawa
  • Ndeso              : kampungan

  Catatan :  Numpang pajang cerpen Rhe ni…..biasanya puisikan…sekarang lagi coba bikin cerpen

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4 Responses to “KABUT CINTA DI KOTA MARMER”

  1. mazgarong Says:

    wow tulungagung, itu kota kelahiran’q. Jd inget pas d pantai popoh. Hahaha

  2. rheifania Says:

    @masgarong : Tulungagungnya mana mas….aku juga orang tulungagung loch….

  3. Belly Says:

    Sama” kota tulungagung
    apik cerpen.ne, marmer ki mesti ds gamping


Tinggalkan komentar