“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing……” suara jam beker itu memecahkan telingaku.Sayup terdengar suara
adzan subuh.Mataku masih terasa lengket.Ku coba untuk tidur kembali, tapi terlambat, Ibu sudah
menggedor pintu kamarku.Akupun bergegas bangun dari tempat tidur dan mengambil air wudhu, lalu
shalat subuh.Seusai sholat subuh aku hendak tidur kembali, tapi keburu ibu memanggilku kembali.
“Ada apa sih ibu………masih ngantuk”. Jawabku sambil mendekati Ibu yang aku juga begitu perhatiin
lagi ngapain.
“Kamu itu…. udah bangun tidur lagi, arep dadi opo……bantuin Ibu sini….” Kata ibu.
“Ibu lagi ngapain sih? pagi – pagi masak segini banyaknya, mang ono opo?” Tanyaku pada Ibu yang
sedari tadi aku lihat sibuk banget.
“Kamu lupa….atau sengaja….?”Ibu malah balik nanya, aku jadi makin bingung, Aku kelupaan apa ya?
“Hari ini Restu datang dari Jakarta bawa temennya, lupa ya???”. Jawab ibu sembari senyum–senyum.
Restu adalah anak kedua pakdhe (sebutan seorang Om di kotaku, kota Tulungagung).Dia kuliah di
salah satu perguruan tinggi di Jakarta.Dia adalah satu-satunya anak Pakdhe yang kuliah.Bukan karena
Pakdhe orang yang berduit, tapi karena emang Restu itu cowok yang pinter dan berkemauan keras hingga
dia selalu dapat bea siswa.Dan saat ini dia udah mau nyusun skripsi, jadi di bawanya teman–temannya
Dari Jakarta untuk mengunjungi kotaku ini, Kota Tulungagung yang terkenal dengan Marmernya.
Jam 6.00 tepat kereta api Matarmaja itu sampai di Stasiun Tulungagung.Aku selalu bertanya ke
Bang Restu (panggilan akrabku untuk Restu), kenapa dia nggak naik Kereta yang Eksekutif dikit,
ya……….minimal Bisnislah! Dan jawabannya selalu sama “Pengiritan”.Emangsih kereta yang dinaiki itu
lumayan murah (Cuma Rp. 50.000,-), tapi untuk ukuran mahasiswa seperti itu apa tidak malu???,”Justru
itulah hebatnya seorang Restu”. Aku jadi semakin tambah kagum dengan Abangku yang satu ini.
Seperti biasa kalo dateng dari Jakarta Restu tidak pernah langsung ke rumahnya melainkan
mampir ke rumahku dulu.Maklum…..sejak Budhe meninggal setahun yang lalu Restu jadi lebih deket
dengan Ibu.
“Pagi Ibu sayang………..ini lo anakmu yang bagus dhewe dateng….” Kata Restu sembari memeluk
Ibu.Setelah itu dia bersalaman dengan Pakdhe (Bapaknya).Dan seperti biasa Pakdhe selalu menitikkan air
mata, itulah yang paling tidak disukai Restu.Setelah bersalaman dengan Ibu, Pakdhe, dan ayah barulah dia
mencariku.Seperti biasa dia selalu menceritakan tentang indahnya kota Jakarta yang bagiku adalah tempat
yang tidak menyenangkan dan tidak pengen aku kunjungi.Aku lebih memilih di Kota ini, Kota dimana
aku dilahirin.Aku bangga dengan Kotaku.
“Bang……kok temennya tidak dikenalin” celetuk Kesha adikku.Restu tersenyum lalu mengenalkan
ketiga temennya ke kami semua.Mereka ada 2 cowok & 1 cewek.Yang Cowok namanya Kadafi & Iman,
yang cewek namanya Intan, pacarnya Restu.Setelah berkangen – kangenan aku pamitan untuk pergi
mengajar disebuah Bimbel.Setelah lulus SMA sebulan yang lalu aku memilih untuk mengajar di Bimbel
milik Kakaknya Muna, temanku.Dan dimalam harinya aku bisa kuliah mengambil jurusan Bahasa.Karena
kesenanganku dengan menulis, aku berkeinginan untuk menjadi seorang Penulis.
Sudah tiga hari ke dua temen Restu tinggal dirumah Pakdhe yang bersebelahan dengan rumahku.
Dan sudah tiga hari pula aku berbagi kamar dengan Intan, pacar Restu.Dia anaknya baik dan tidak
sombong.Dan yang jelas cantik banget, sesuai dengan cewek idaman Restu.
“Kay….knapa kamu nggak mau kuliah atau setidaknya main ke Jakarta??” Tanya Intan kepadaku saat
kita hendak siap – siap tidur.
“Enggaklah mbak………..habis Jakarta itu menakutkan.Lihat ja di TV – TV itu…banyak demo, banyak
kerusuhan, udah gitu panas pula.Penuh dengan polusi”jawabku sambil menceritakan ketidaksukaanku
kepada ibukota Negara ini.Karena bagiku kotaku lebih indah dari pada kota Jakarta.
“Mba liatkan biarpun kota ini kota kecil dan mungkin tidak tertera dalam peta, tapi, kota ini indah…
terkenal dengan Marmernya pula.Sejuk….belum ada polusi seperti di Jakarta kan?? mo liburan juga
banyak tempatnya, ada Pantai Popoh, Prigi, Waduk Wonorejo, Gua Lowo, dan mo ke makam Bung
Karno juga deket” Aku mulai menceritakan kebanggaanku atas Kota ini.
“Kalo ada cowok Jakarta naksir kamu gimana??” pertanyaan Mba Intan itu membuatku tertawa geli.
“Mana ada cowok suka sama wong ndeso kaya Kay mba….” Jawabku. Mba Intan tampak bingung dan
tidak mengerti omonganku.
“Maksudku….mana ada yang suka sama gadis desa kaya aku ini.Udah gadis desa, ga cantik pula” Mba
Intan menganggukkan kepala setelah mengerti maksud dari omonganku.
“Ya enggaklah Kay……kamu cantik kok…pinter pula” jawab Mba Intan.
“Udahlah mba….Kay ngantuk…dibahas lain kali ja ya…..” jawabku
Pagi ini rencananya Restu dan temen – temennya mau main ke Pantai Popoh.Pengen ikut sih…….
tapi males naik angkotnya.Soalnya Kesha ikut.Sebenernya motor ada 3, tapi yang satu lagi perpanjang
STNK, jadi ga bisa di bawa.
“Ayolah adikku manis………..”bujuk Restu padaku.Aku makin kesel aja tu ma Restu, udah tau aku suka
mabok klu naik angkot, eh…..masih dipaksa pula.
“Ya udah gini ja…..biar Kadafi naik motor ma Kayla, sementara kita naik angkot, gimana?soalnya keburu
siang….waktu kita ga banyak, kita juga harus Riset mengenai Marmerkan……” usul Iman
“Bener juga….diantara kita yang punya SIM kan Cuma Dafi” sambung Restu.
Mati aku!!!ga salah aku disuruh pergi ma cowok itu???bisa Salting nich….aduh gimana nih…..
aku mulai memutar otak buat menolak ini semua, tapi terlambat, Kadafi udah ngasih aku helm.Sepanjang
perjalanan kita Cuma saling diam, aku juga nggak berani pegangan. Jantungku rasanya berdegup kencang,
jangan – jangan aku jatuh cinta.
“Kok diem aja Kay…..sakit gigi ya???”Tanya Kadafi meledekku yang sedari tadi diem aja, aku hanya
tersenyum menanggapi pertanyaan itu.
“Tu kan….diem terus, ngomong – ngomong masih jauh ya…..”
“Enggak kok, depan itu belok kiri sampe.” Jawabku singkat.
Setelah tiba di Pantai Popoh ternyata, Restu dan yang lain belum dateng.Terpaksa aku dan Kadafi
menunggu mereka dateng lebih dulu baru kita main – main di Pantai.Dan selang 1jam rombongan Restu
sampai.Kitapun jalan jalan dan bermain pasir di pantai.Nggak tau kenapa mataku selalu terpana melihat
Kadafi.Dan aku lihat dia pun curi – curi pandang padaku.Hati ini semakin berdegub kencang.
“Kay….gimana Kadafi??”Tanya Intan padaku.Aku jadi bingung, apa maksud Intan nanya seperti itu
padaku?Apa yang dimaksud cowok Jakarta malam itu Kadafi?Aku juga jadi bingung harus jawab apa?
“Iya lo Mbak….Kak Dafi pernah tanya Sha, apa Mbak Kay udah punya pacar?” nah lo….apa lagi ini si
Kesha, jangan – jangan dia crita yang enggak – enggak.
“Trus Sha bilang apa?”tanyaku penasaran
“Sha nggak bilang apa – apa kok, emang sha nggak tau kan…..” jawab Sha.
Pembicaraan kami terhenti karena Si Restu dateng, tak terasa hari sudah sore.Restu ngajakin kita
pulang.Karena sore ini dia ada janji dengan salah satu temannya pengrajin Marmer.
Nggak terasa sudah sudah hampi 1 bulan Restu dan ketiga temen dari Jakartanya tinggal di Kota
ini.Dan hati ini semakin berdebar – debar bila harus bertatap muka dengan Kadafi.Sepertinya aku merasa
ada banyak kupu – kupu di taman hatiku, dan akupun dibuat tak berdaya akan rasa ini.
“Hahahaha…..ternyata si penyair udah jatuh cinta ya???” ledek Muna, temenku
“Ojo ngguyu…..aku malu tau…..kamu kan tau, dia orang Jakarta, jadi apa aku mimpi ya….aku kan nggak
ayu kaya cewek – cewek Jakarta” akupun mulai mengutarakan apa yang aku rasakan kini.Muna
mendengarkan dan sesekali tertawa geli mendengar ceritaku.Emang sih selama ini, sampai umurku 19
tahun aku belum pernah merasakan yang namanya jatuh Cinta. Nggak seperti Muna yang suka gonta –
ganti pacar itu.
“Gimana dong Mun…..besok minggu mereka balik Ke Jakarta…”
“Ya ikut sono, sekali – kali gitu, biar ga ndeso” jawab Muna.
“Ogah! Mendingan di sini, mo ngapain ja bisa, emangnya di Jakarta indah apa? Udah apa – apa mahal,
kencing aja bayar.Toh belum tentu juga kan dia suka ma aku.Biarin ajalah kalo emang jodoh nggak
kemana.” Jawabku bijak.
Sementara aku mencoba melawan perasaanku, aku baru tau kalo Kadafi juga mencoba untuk
mengusir rasa yang sama.Dan bukan hanya itu, alasannya hampir sama, dia lebih mengindahkan kota
Jakartanya dari pada Cinta yang mulai bersemi ini.Aku tak tahu harus bagaimana mengusir rasa ini,
karena semakin ku coba aku semakin tak bisa.Ego yang tak bisa aku cegah membuatku untuk menahan
segala rasa.Dan aku juga tau itu pula yang dirasakan oleh Kadafi.Jadi biarlah Cinta ini tertutup kabut
hingga sampai akhirnya nanti kabut itu akan menjelaskan dengan sendiri mau dibawa kemana Cinta ini.
“Dafi….lu yakin ga akan bilang terus terang ke adiknya Restu itu?”Tanya Iman melihat kegundahan
Kadafi akan perasaannya.
“Gue ga tau Man….yang jelas gue gak yakin akan semua ini.Kalo pun kita satu rasa, apakah bisa cinta
terpaut jarak begitu jauh seperti ini?Aku suka Kota ini, tapi hidupku bukan disini tapi di Jakarta.
Sementara kamu tau sendiri Kay itu seperti apa?Susah untuk menyatukan Cinta karena ternyata Ego kita
sama – sama begitu besar”Kadafi mulai mencurahkan isi hatinya.
“Ya…setidaknya kalo kalian tau isi hati masing – masing, bisakan dicari jalan keluar yang terbaik tanpa
harus saling memendam rasa yang ujung – ujungnya bikin sakit kedua belah pihak kan?coba pikirin lagi
deh!besok kita balik lo….dan ga tau lagi kapan kembali lagi kesini” Pendapat Iman mengenai kabut Cinta
antara aku dan Kadafi
Hari ini mereka semua kembali ke Jakarta, aku mencoba menguatkan hati untuk tidak menangisi
semua ini.Kenapa Cinta begitu rumit….Kenapa Cinta itu begitu pedih…aku kalah, Aku kalah dengan
keadaan yang seharusnya bisa aku rubah dengan mudah, Aku kalah dengan Kabut kelam yang seharusnya
bisa kubuat terang.
“Sudahlah Kay…..lebih baik kamu terus terang saja.Dari pada seperti ini….kamu juga kan yang sakit??”
Bujuk Muna agar aku mau menyambut rasa ini.Tapi apa alu bisa???apa aku mampu???Mungkinkah aku
menyerah sebelum kalah…..Tapi tidak!!!!aku tidaklah kalah karena memang tembok itu terlalu tinggi
untuk ku panjati, tebing itu terlalu curam untuk kudaki.Kalaupun cinta itu memihak kita, setidaknya ada
satu yang memberatkan Kadafi untuk meninggalkan semua ini sebelum kabut itu tersingkap.Karena
seperti yang aku lihat saat ini Kadafi-pun kalah dengan keadaan.
Kereta itu pelan – pelan membawa mereka pergi sekaligus rasa yang tak pernah bisa aku
utarakan.Dan membawa kisah yang aku sendiri tak tau bagaimana awal dan akhirnya.
Setelah Restu dan semua temannya kembali, rumah terasa sepi.Begitu juga hati ini.Aku pun
memulai hari – hariku seperti biasa.Dan tentu saja dengan mencoba mengubur dalam Rasa yang pernah
ada.Walupun aku sadar sulit untuk melakukannya, karena setiap aku masuk ke rumah Pakdhe yang
terbayang adalah senyum Kadafi.Aku tau aku tak boleh terus begini, oleh karena itu aku mencoba untuk
menyibukkan diri.Dengan membuat puisi, cerpen, memberi les, dan kuliah.Aku pikir semua itu bisa
membantuku untuk menyingkirkan bayang bayang Kadafi.Tapi ternyata tidak.
PINTU HATI
Rindu kepadamu menyiksaku…., Cinta kepadamu buatku gelisah slalu….
Tak Jumpa denganmu buatku sakit
Maka aku mengetuk pintu hati, dan aku kehilangan hati
Karena merindumu…….
Di pintu hati itu kau akan tau
Begitu jauhnya sakit rinduku, sakit yang tegar untuk ditanggung cinta
Di bawah tubuh ini api Cinta mulai menyala
Di pintu hati itu kan kau lihat pandangan rindu
Yang menyelinap di sayap – sayap hati
Sampai kau kan mengerti, betapa besar rasa yang kumiliki
“Begitu dalamkah sakit yang kau rasa Kay???Kalau Rasa yang kau punya sebesar itu kenapa nggak kamu
coba untuk mencarinya” Nasehat Muna kepadaku.
“Itu tidak mungkin….cinta yang aku punya bukan cinta egois, aku sudah cukup dengan rasa ini, aku
nggak mau Kadafi terbebani dengan rasaku ini” jawabku
“Cintamu emang bukan cinta yang egois, tapi kamu egois dengan cinta.Seandainya kamu membuka mata
bahwa diluar sana ada cinta yang menanti, cobalah berfikir…kenapa selama ini kamu susah membuka
hati, karena kota ini??aku rasa tidak!!kamu begini justru karena keegoisanmu sendiri.Andai kamu mau
mencoba….belum tentu Jakarta seperti yang kamu kirakan???? “ Muna mulai berceramah ini itu tentang
cinta.Tapi bagiku itu belum cukup menguatkan hatiku untuk menatap cinta itu sendiri.
Ku coba melalui hari – hari dengan tidak memikirkan cinta dan kata – kata Muna.Bukannya aku
egois, tapi aku juga tau Kadafi itu seorang yang idealis.Aku tau karena Restu pernah bilang itu padaku
sebulan setelah dia sampai di Jakarta.Jadi mana mungkin aku bisa melakukan apa yang Muna katakana.
Restu pernah juga bilang kalau sebenarnya Kadafi juga merasakan hal yang sama denganku.Dan sama
sepertiku, dia benar – benar tidak tau berontak atau menerima rasa itu.Terlalu sulit baginya meninggalkan
Jakarta, tapi sulit juga baginya untuk mengabaikan rasa.Bukan karena Jakarta lebih indah, tapi karena
hidupnya memang tidak memungkinkan untuk pindah dari kota itu.Mamanya yang sakit parah, usaha
yang dirintis papanya, semua itu semakin memperburuk keadaan.Dan Aku…..tidak mungkin aku seegois
itu untuk datang dan mengungkapkan semua rasa ini, bahwa aku juga merasakan hal yang sama seperti
yang dia rasa.Karena tidak mungkin aku tega menambahkan kegalauan hatinya.Aku pikir keluarga dan
Jakarta lebih membutuhkan dia dari pada sekedar cinta yang aku punya ini.Dan aku cuma bisa berharap
seiring dengan berjalannya waktu aku bisa melupakan cinta ini.
Hari berganti begitu cepat.Sudah hampir satu tahun aku mencoba melupakan semua rasa yang
selama ini menggangguku.Meski aku tau aku tak mampu, tapi demi cinta aku selalu bertahan pada
tempatku.Karena aku percaya kalaupun takdirku adalah Kadafi, tanpa aku berusaha menyingkirkan kabut
yang ada, pasti kabut itu akan pergi dengan sendirinya.Seperti hari ini, aku tak pernah berharap bertemu
kembali dengan Kadafi, tapi rasa itu membawaku ketemu dengannya.Hari ini aku di kota Jakarta, kota
yang selama ini menghantuiku dengan cinta.Tapi aku ke sini bukan karena cinta itu, melainkan untuk
melihat Restu di wisuda
“Hai Kay….. apa kabar??”Sapa Iman kepadaku saat aku dan keluarga sampai di kampus tempat Restu
kuliah. Aku juga melihat Kadafi, tapi aku tak berani menatapnya.
“Baik, kalian sendiri gimana?” jawabku singkat.Mereka hanya memperlihatkan keadaannya dan
kebahagian yang terpancar dari wajah masing – masing, yang aku tau sih maksudnya mereka jauh lebih
baik. Aku hanya bisa tersenyum melihat semua itu.
“Kay…aku mau ngomong…” Kadafi menarik tanganku dan mengajak ke suatu tempat masih dalam
bagian kampus itu.Aku bertanya – tanya dalam hati, ada apa ya???
“Sudah setahun nggak ketemu kok kamu kelihatan beda ya…”Kadafi memulai pembicaraan kami.Aku
tersenyum malu.
“Maksud kakak mengajak Kay kesini ada apa???” tanyaku untuk menyembunyikan kegundahanku.Aku
tidak berani menatap Kadafi, Aku hanya mendengar dia menarik nafas panjang sebelum pada akhirnya
mengungkapkan rasa yang ada dalam hatinya.Aku tak pernah menyangka kalau sebenarnya dia jauh
tersiksa karena rasa ini dibandingkan dengan aku.
“Aku bener – bener nggak tau Kay…harus ngapain lagi untuk mempertahankan rasa yang kini ada.Aku
merasa hidupku hampa apabila melepas cinta ini, tapi aku juga tidak bisa menghancurkan harapan
keluargaku disini, aku sayang kamu….bahkan sayang banget, tapi apakah mungkin demi sayang dan cinta
aku mengabaikan kewajibanku sebagai seorang anak…..” Aku melihat Kadafi menitikan air mata.
“Aku tau kak….makanya aku nggak pernah mengatakan semua rasa yang aku miliki ke Kakak, karena
cinta yang aku miliki ini bukan cinta yang egois, yang maunya aku bahagia tanpa memikirkan orang lain,
aku tidak ingin seperti itu…..Aku ingin jika cinta itu bisa kurengkuh, bahagia yang aku rasa bisa dirasa
oleh semua orang, termasuk keluarga orang yang aku cinta, yaitu mama dan keluarga kakak” jawabku
sembari menahan air mata yang sudah tidak tahan untuk keluar dari mataku.
“Bahkan datang ke Jakarta ini adalah suatu beban, Aku nggak mau karena kedatanganku ini akan
menambah kegalauan hati Kak Dafi.Sempat aku berharap agar tidak bertemu dengan Kak Dafi.Aku takut,
aku takut jika ketemu dengan Kak Dafi akan merubah pendirian ini, dan akhirnya aku menjadi seorang
yang egois.Bagiku melihat Kak Dafi bahagia dan bisa membahagian orang disekitar Kakak itu jauh lebih
indah dari pada aku miliki cinta kakak, tapi harus dengan membayar mahal, yaitu melukai hati orang –
orang disekitar kakak” dan ternyata aku tak bisa membendung air mata.Perlahan tapi pasti butir – butir
bening itu mulai menetes.Namun dengan sigap aku menghapusnya kembali lalu mencoba tegar kembali.
“Aku baru tau Kay……ternyata bukan saja wajahmu yang cantik…tapi semua yang ada pada dirimu di
liputi kecantikan yang jarang orang punya.Aku sungguh beruntung kenal denganmu bahkan mencintaimu,
walaupun mungkin sulit untuk kita meraih cinta ini, tapi aku yakin jika memang cinta memihak kita pasti
suatu saat kabut yang menyelimuti cinta ini akan kalah oleh rasa yang kita punya” Kamipun saling
berpelukan.Aku sudah tidak bisa merasakan lagi apa yang aku rasakan.Aku bahagia bisa ketemu Kadafi,
tapi haruskah aku menangis karena pertemuan ini?Aku juga tidak tahu.Ku hapus air mata dan mengajak
Kadafi kembali bergabung dengan semuanya.Proses wisuda itu sudah dimulai.Satu persati mahasiswa
dipanggil.Aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi untuk melihat Restu di wisuda.
Setelah di wisuda Restu kembali pulang ke kota kami untuk sementara.Rencananya dia akan
bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta.Setelah mapan dia mau menikah dengan Intan, orang yang di
cintainya.Sementara aku????aku masih saja sibuk dengan penantian cinta yang aku tak tahu sampai kapan
cinta itu bisa ku rengkuh.Tapi yang jelas aku bahagia, karena setidaknya masih mempunyai rasa
cinta.Walaupun mungkin semua orang mengatakan aku bodoh telah mengambil keputusan untuk
mengabaikan cinta yang kurasakan.Tapi aku tidak peduli.Bagiku Cinta itu tidak harus memiliki dan
menuntut orang yang kita cintai untuk melakukan apa yang kita mau.Karena cinta yang seperti itu
bukanlah cinta, melainkan kesepakatan dan keegoisan semata.Semoga saja Kadafi bahagia dengan
keputusanku ini.Jadi biarlah cinta kami bersemi dalam hati.Kalau Tuhan menghendaki kita satu, aku
yakin Kadafi akan datang padaku.Bersama cintanya…..cinta kami yang sempat tertutup kabut.
By Rhe,
Dari kota kecil di Propinsi Jawa Timur, Tulungagung
Note :
Arti kata :
- Arep adi opo : mau jadi apa
- Ono opo : ada apa
- Bagus dhewe : paling cakep sendiri
- Ojo ngguyu : jangan ketawa
- Ndeso : kampungan
Catatan : Numpang pajang cerpen Rhe ni…..biasanya puisikan…sekarang lagi coba bikin cerpen
wow tulungagung, itu kota kelahiran’q. Jd inget pas d pantai popoh. Hahaha
@masgarong : Tulungagungnya mana mas….aku juga orang tulungagung loch….
Sama” kota tulungagung
apik cerpen.ne, marmer ki mesti ds gamping
@belly : bukan desa gamping…aku dari Serut – boyolangu.